Rabu, 16 Mei 2012

Doaku Selalu Menyertaimu


Satu dekade sudah putraku menajalani kehidupannya sebagaai seorang yang bekerja di negeri orang. Terombang-ambing di atas kapal dan di atas jalan kehidupannya. Sore itu aku bersama istriku bersiap menjemput putraku satu-satunya diantara anak-anak kami yang kebanyakan perempuan. Putraku yang satu ini dulu sangatlah manja atau lebih tepatnya kami manjakan karena seperti kebanyakan orang tua yang sangat mengharapkan anak laki-laki ditengah karunia Allah berupa putri yang cantik. Dengan hadirnya anak lelaki di dalam bahtera keluarga kami, kami berharap dia bisa meneruskan garis keturunan kami dan menjadi seorang pemimpin yang besar. Kami begitu bangga padanya. Kerja kerasnya telah dibayar oleh Allah dengan penghasilannya yang besar bekerja di Negara Adidaya. Ketika kami sedang menyiapkan barang bawaan kami berupa pakaian yang kami kemas rapi dalam koper haji, hadiah dari putra kami ketika dua tahun ia bekerja di Negara Adidaya, telepon dirumah kami berbunyi. Namun sebelum aku sempat meraih gagang telepon istrikulah yang meraihnya terlebih dahulu dan aku berdiri di sampingnya dengan harapan bahwa putra kami akan segera tiba.
“bagaimana nak?,” kata istriku yang berbicara dengan nada yang tergesa dengan istri anak kami
“oh Tama akan sampai di bandara jam empat lebih lima menit ya?” Lanjut istriku riang
Saat itu jarum panjang jam menunujuk angka delapan dan jarum pendek  malu-malu menunduk karena akan bertemu angka empat. Kebetulan jarak bandara dengan rumah kami hanya sepuluh menit.
“ya nak, bapak sama mamak mau ke bandara ini sudah siap semua” sambung istriku dengan wajah haru sebagaimana yang juga selama ini aku rasakan meyambut putraku yang telah berjanji akan mengajak kami berlibur ke rumahnya yang baru di jawa Timur.
“ayo pak kita kebandara Tama sebentar lagi sampai” kata istriku setelah menutup telepon
“ya, ayo kita carter taksi, lho bukannya mamak punya no pak Surono supir taksi yang bersedia datang kalau ditelepon?”
“ah, bakal lama itu pak, mending kita minta Yati yang cari taksi” kata istriku.
“ya sudah, kita telepon saja Yati.” sembariku mengangkat gagang telepon
“Nak, tolong carikan taksi untuk bapak mamak ya, adikmu sebentar lagi landing”
“ Ya pak, tolong tunggu lima menit” jawab Yati
“mak kayo bersiap taksi akan datang lima menit lagi”
Kami-pun bersiap dengan duduk di teras rumah kami. Tak lama kemudian taksi pun datang dan juga putri kami Yati. Putri kami sebenarnya dua tapi yang satu Siti sedang dalam perantauan bersama suaminya.
“Pak, taksinya sudah siap” kata Yati
“ayo mak, lekas berangkat.”
“Ya pak, sebentar tak kunci pintu dulu” balas istriku.
Sesaat setelah kunci pintu diputar kami semua mendengar telepon rumah kami berdering nyaring.
“mak, ada telepon tu” aku minta agar istriku membuka pintunya lagi untuk menjawab telepon
Istrikupun bergegas membuka lagi pintu dan meraih gagang telepon, lalu terdengar nada Tanya darinya
“Piye le?(bagaimana nak?)”Tanya istriku
“oh turun Semarang kamu nak?, o ya sudah hati-hati saja pulangnya ya nak, kalau sudah sampai rumah mamak dikabari lagi.” Kata istriku bernada lesu.
Sontak saja kami menjadi agak lesu karena Tama tak turun di Jogja dan memilih turun di Semarang dan kerinduan kami tak sempat terobati selama bertahun-tahun karena kami jarang bertemu, namun kami juga bahagia karena Tama selamat sampai Indonesia.
“Terus gimana taksinya pak?” Tanya istriku
Aku sempat bingung karena kasihan juga kalau datang tapi tak jadi kami pakai jasanya.
“Ya sudah mak, kita bayar saja dengan hitungan sampai bandara paling berapa”
Setelah kami bayar sopirnya sembari minta maaf karena tidak jadi memakai jasanya kami-pun duduk termenung di depan teras lumayan lama untuk menghilangkan sejenak kelesuan karena kegagalan kami untuk bertemu putra kebanggan kami Tama. Tak lama Yati pamit pulang.
Terpaksa kami bongkar lagi pakaian yang semula nampak tersenyum sebagaiamana hati kami karena akan bertemu sekaligus berlibur dengan putra kami Tama yang sudah lama meninggalkan kami bekerja di Negara Adidaya. Kami akan bertemu dengan wajah malam yang biasa yang sebelumnya kami berangan akan melihatnya tersenyum bersama kami dengan Tama.
Namun, sebelum maghrib Yati datang dengan wajah yang nampak habis dibanjiri oleh air mata. Kami pun bertanya-tanya.
“Ada apa ti?kenapa nangis?”
“ini lho pak ternyata Tama tidak turun di Semarang, dia turun di Jogja” jawabnya sambil sesenggukan
“Tapi katanya dia turun di Semarang, jangan buat-buat kamu Ti”
“Iya Ti, jangan kau buat-buat cerita” sahut itriku agak geram
“Gak mak, pak, Tama memang turun di bandara Jogja dengan pesawat garuda aku tanya pada petugasnya di counter Garuda” Jawab Yati
“Trus, Tama bohong pada kita pak?” Istriku balik bertanya padaku dengan nada tak percaya
“Bentar tho mak!. Kok dia gak mampir ke sini kalau dia turun Jogja ya Ti?”
“Aku sudah tanya petugas penyewaan jasa Taksi dan Travel dan juga bis di Bandara katanya gak ada pelanggan atas nama Tama Setyawan yang menggunakan jasa mereka dan ketika aku tanya di counter garuda tentang penumpang atas nama Tama Setyawan, mereka jawab kalau penumpang atas nama Setyawan, Tama memang turun jam 4 dari Jakarta, jadi kemungkinan dia langsung di jemput oleh istri dan keluarga istrinya langsung ke rumah mereka pak.” Jawab Yati menjelaskan kronologinya.
Kami pun semua terdiam setelah mendengar penjelasan Yati sambil menahan pahit hati di bohongi oleh anak kesayangan kami. Ya Allah mengapa anakku berubah setelah ia menikah? Apa yang membuatnya menjadi seperti itu seolah ingin menjauh dari kami orang tuanya? Apa salah kami padanya? Ya Allah lapangkanlah hati kami dan berilah keselamatan padanya.


                                                                                                MH Kurniawan, 14/05 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar