Satu dekade sudah putraku menajalani
kehidupannya sebagaai seorang yang bekerja di negeri orang. Terombang-ambing di
atas kapal dan di atas jalan kehidupannya. Sore itu aku bersama istriku bersiap
menjemput putraku satu-satunya diantara anak-anak kami yang kebanyakan
perempuan. Putraku yang satu ini dulu sangatlah manja atau lebih tepatnya kami
manjakan karena seperti kebanyakan orang tua yang sangat mengharapkan anak
laki-laki ditengah karunia Allah berupa putri yang cantik. Dengan hadirnya anak
lelaki di dalam bahtera keluarga kami, kami berharap dia bisa meneruskan garis
keturunan kami dan menjadi seorang pemimpin yang besar. Kami begitu bangga
padanya. Kerja kerasnya telah dibayar oleh Allah dengan penghasilannya yang
besar bekerja di Negara Adidaya. Ketika kami sedang menyiapkan barang bawaan
kami berupa pakaian yang kami kemas rapi dalam koper haji, hadiah dari putra
kami ketika dua tahun ia bekerja di Negara Adidaya, telepon dirumah kami
berbunyi. Namun sebelum aku sempat meraih gagang telepon istrikulah yang
meraihnya terlebih dahulu dan aku berdiri di sampingnya dengan harapan bahwa
putra kami akan segera tiba.
“bagaimana nak?,” kata istriku yang
berbicara dengan nada yang tergesa dengan istri anak kami
“oh Tama akan sampai di bandara jam
empat lebih lima menit ya?” Lanjut istriku riang
Saat itu jarum panjang jam menunujuk
angka delapan dan jarum pendek malu-malu
menunduk karena akan bertemu angka empat. Kebetulan jarak bandara dengan rumah
kami hanya sepuluh menit.
“ya nak, bapak sama mamak mau ke
bandara ini sudah siap semua” sambung istriku dengan wajah haru sebagaimana
yang juga selama ini aku rasakan meyambut putraku yang telah berjanji akan
mengajak kami berlibur ke rumahnya yang baru di jawa Timur.
“ayo pak kita kebandara Tama sebentar
lagi sampai” kata istriku setelah menutup telepon
“ya, ayo kita carter taksi, lho
bukannya mamak punya no pak Surono supir taksi yang bersedia datang kalau
ditelepon?”
“ah, bakal lama itu pak, mending kita
minta Yati yang cari taksi” kata istriku.
“ya sudah, kita telepon saja Yati.” sembariku
mengangkat gagang telepon
“Nak, tolong carikan taksi untuk
bapak mamak ya, adikmu sebentar lagi landing”
“ Ya pak, tolong tunggu lima menit”
jawab Yati
“mak kayo bersiap taksi akan datang
lima menit lagi”
Kami-pun bersiap dengan duduk di
teras rumah kami. Tak lama kemudian taksi pun datang dan juga putri kami Yati.
Putri kami sebenarnya dua tapi yang satu Siti sedang dalam perantauan bersama
suaminya.
“Pak, taksinya sudah siap” kata Yati
“ayo mak, lekas berangkat.”
“Ya pak, sebentar tak kunci pintu
dulu” balas istriku.
Sesaat setelah kunci pintu diputar
kami semua mendengar telepon rumah kami berdering nyaring.
“mak, ada telepon tu” aku minta agar
istriku membuka pintunya lagi untuk menjawab telepon
Istrikupun bergegas membuka lagi pintu
dan meraih gagang telepon, lalu terdengar nada Tanya darinya
“Piye le?(bagaimana nak?)”Tanya
istriku
“oh turun Semarang kamu nak?, o ya
sudah hati-hati saja pulangnya ya nak, kalau sudah sampai rumah mamak dikabari lagi.”
Kata istriku bernada lesu.
Sontak saja kami menjadi agak lesu
karena Tama tak turun di Jogja dan memilih turun di Semarang dan kerinduan kami
tak sempat terobati selama bertahun-tahun karena kami jarang bertemu, namun
kami juga bahagia karena Tama selamat sampai Indonesia.
“Terus gimana taksinya pak?” Tanya
istriku
Aku sempat bingung karena kasihan
juga kalau datang tapi tak jadi kami pakai jasanya.
“Ya sudah mak, kita bayar saja dengan
hitungan sampai bandara paling berapa”
Setelah kami bayar sopirnya sembari
minta maaf karena tidak jadi memakai jasanya kami-pun duduk termenung di depan
teras lumayan lama untuk menghilangkan sejenak kelesuan karena kegagalan kami
untuk bertemu putra kebanggan kami Tama. Tak lama Yati pamit pulang.
Terpaksa kami bongkar lagi pakaian
yang semula nampak tersenyum sebagaiamana hati kami karena akan bertemu
sekaligus berlibur dengan putra kami Tama yang sudah lama meninggalkan kami
bekerja di Negara Adidaya. Kami akan bertemu dengan wajah malam yang biasa yang
sebelumnya kami berangan akan melihatnya tersenyum bersama kami dengan Tama.
Namun, sebelum maghrib Yati datang dengan
wajah yang nampak habis dibanjiri oleh air mata. Kami pun bertanya-tanya.
“Ada apa ti?kenapa nangis?”
“ini lho pak ternyata Tama tidak
turun di Semarang, dia turun di Jogja” jawabnya sambil sesenggukan
“Tapi katanya dia turun di Semarang,
jangan buat-buat kamu Ti”
“Iya Ti, jangan kau buat-buat cerita”
sahut itriku agak geram
“Gak mak, pak, Tama memang turun di
bandara Jogja dengan pesawat garuda aku tanya pada petugasnya di counter
Garuda” Jawab Yati
“Trus, Tama bohong pada kita pak?”
Istriku balik bertanya padaku dengan nada tak percaya
“Bentar tho mak!. Kok dia gak mampir
ke sini kalau dia turun Jogja ya Ti?”
“Aku sudah tanya petugas penyewaan jasa
Taksi dan Travel dan juga bis di Bandara katanya gak ada pelanggan atas nama
Tama Setyawan yang menggunakan jasa mereka dan ketika aku tanya di counter
garuda tentang penumpang atas nama Tama Setyawan, mereka jawab kalau penumpang
atas nama Setyawan, Tama memang turun jam 4 dari Jakarta, jadi kemungkinan dia langsung
di jemput oleh istri dan keluarga istrinya langsung ke rumah mereka pak.” Jawab
Yati menjelaskan kronologinya.
Kami pun semua terdiam setelah
mendengar penjelasan Yati sambil menahan pahit hati di bohongi oleh anak
kesayangan kami. Ya Allah mengapa anakku berubah setelah ia menikah? Apa yang
membuatnya menjadi seperti itu seolah ingin menjauh dari kami orang tuanya? Apa
salah kami padanya? Ya Allah lapangkanlah hati kami dan berilah keselamatan
padanya.
MH
Kurniawan, 14/05 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar